KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT SUKU KEI DI MALUKU TENGGARA

KEARIFAN LOKAL DI WILAYAH    KABUPATEN MALUKU TENGGARA
SIWALIMA : Falsafah Yang Memperkuat
Budaya SIWALIMA merupakan basis pemikiran kebudayaan masyarakat Maluku yang dijadikan sebagai perspektif budaya dari proses pembangunan di Maluku. alasan-alasan dasar mengapa basis pemikiran budaya ini menjadi penting sebagai sebuah cara pandang pembangunan Maluku. Ketika banyak pihak mengamanatkan pentingnya kearifan lokal sebagai kekuatan membangun karakter manusia; maka pembangunan sebagai salah satu instrumen pembentukan karakter manusia mesti pula didesain secara cermat dengan bertumpu pada kearifan lokal.
Budaya SIWALIMA bukanlah penggunaan suatu unsur kearifan lokal untuk mengisi suatu agenda global/universal. Ibarat mengisi air ke dalam sebuah gelas. Budaya SIWALIMA adalah ‘gelas’ itu sendiri; artinya budaya itu menjadi wadah dan wahana untuk mengkonsolidasi segala hal. Sebab itu dalam strategi pembangunan, budaya SIWALIMA merupakan paradigma yang darinya kita memandang serta mengembangkan pembangunan dan pemerintahan di Maluku.
Di dalam paradigma SIWALIMA, pembangunan Maluku adalah sebuah proses dialektika dan dialogis. Proses dialektika artinya pembangunan harus dapat membangun sebuah sintesa antara kebutuhan rakyat, harapan rakyat dan cita-cita daerah ke dalam bentuk program-program konkrit. Hak-hak masyarakat adat pengetahuan lokal dan segala kekayaan alam yang ada mesti dikelola dengan tetap menjaga keutuhan hidup masyarakat adat, menghormati pranata-pranata sosial mereka, dan memelihara integrasi negeri-negeri yang adalah satuan sosio-genealogis. Itulah sebabnya Peraturan Daerah No. 14 Tahun 2005 dan pembentukan Forum Latupati Maluku (29 Oktober 2007) dimaksudkan agar proses-proses dialektika itu berlangsung melalui konektivitas yang kuat di antara institusi pemerintahan mulai dari level paling bawah.
Proses dialogis dimaksudkan agar proses-proses komunikasi antarmasyarakat, antarmasyarakat dengan institusi pemerintahan bisa berlangsung secara efektif. Dalam budaya SIWALIMA komunikasi merupakan salah satu usaha meningkatkan kohesifitas masyarakat. Ada hubungan yang mutual di antara tiap unsur atau elemen sosial, dan hubungan itu bertendensi pada perdamaian, persaudaraan, tanggungjawab, tetapi juga kesetiaan untuk menaati perjanjian yang telah disepakati.
Paradigma SIWALIMA dalam pemerintahan mengasumsikan perlunya pemerintah yang bersih dalam arti jujur, bertanggungjawab, dekat dengan rakyat [dalam semangat hidop orang basudara] atau apa yang sejak awal disebut pemerintahan yang demokratis [democratic government]. Secara kultural, negeri-negeri, aman, hena, ohoi, di Maluku adalah satuan demokrasi kultural yang kuat. Kekerabatan yang terlembaga dalam ikatan soa dan selanjutnya terjelma dalam Saniri sebagai bentuk kolektifitas pemerintahan mengamanatkan bahwa pemerintahan daerah di Maluku perlu dibangun dalam mekanisme-mekanisme ‘hidop orang basudara’.



Pemerintahan yang kuat dan dipercaya rakyat adalah pemerintahan yang mampu menjaga kohesifitas sosial dan mendorong proses-proses ‘masohi, badati, maano, hamaren’ --- yakni mendorong tingkat partisipasi masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan. Tingkat partisipasi yang tinggi adalah wujud dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan.

Karena itu paradigma SIWALIMA harus dapat membentuk watak atau keteladanan seorang pemimpin di dalam masyarakat. Orang Maluku selama ini belajar dari pemimpin yang berkharisma. Itulah sebabnya mengapa Raja-raja adalah tokoh-tokoh kharismatik yang begitu dihormati oleh masyarakat adat. Mengapa lembaga Saniri Negeri Adat begitu berwibawa. Pemimpin yang berkharisma SIWALIMA adalah pemimpin yang cinta kepada rakyatnya, mau berkorban, mampu membela kepentingan rakyat, menjaga keutuhan dan perdamaian, melindungi hak-hak daerah dan hak rakyat.

Ø  Kearifan Lokal  Pulau Kei
Gambar. 1.1.   Peta kepulauan kei
 
 


Kepulaua kai (pulau kei) di Indonesia berada di  bagian Tenggara kepulauan Maluku termasuk dalam Provinsi Maluku. Penduduk setempat menyebut kepulauan ini NUHU EVAV (kepulauan Evav) atau Tanat Evav (negeri Evav) tetapi dikenal dengan nama kei atau kai oleh penduduk dari pulau-pulau tetangga. “Kai” sebenarnya adalah sebutan dari zaman colonial Hindia Balanda, dan masih digunakan dalam buku-buku yang di tulis berdasarkan sumber-sumber lama. Kepulauan ini terletak di selatan jazirah kepala burung Irian jaya, di sebelah barat kepulauan Aru, dan di timur laut kepulauan Tanimbar.
Kepulaua Kei terdiri atas sejumlah pulau, diantaranya adalah :
ü  Ke Besar  atau Nuhu Yut atau Nesteen
ü  Kei Kecil ataau  Nuhu Roa atau Nusyanat
ü  Tanimbar Kei atau  tnebar evav
ü  Kei Dullah atau Duu
ü  Dulah laut atau Du Roa
ü  Kuur
ü  Taam
ü  Tayandu atau Tahayad
Kei besar bergunung dan berhutan lebat, kei kecil datar dan memiliki populasi terbanyak. Pulau ini sebenarnya merupakan sebuah pulau koral yang terangkat ke permukaan laut. Ibu kota kepulauan ini adalah kota Tual, yang mayoritas agamanya beragama islam. Tak jauh dari Tual terletak Langgur yang merupakan pusat bagi warga Kristiani.
Kepulauan Kei merupakan bagian dari daerah Wallace kumpulan pulau-pulau Indonesia yang dipisahkan oleh laut dalam dari lempeng benua Asia maupun Austaralia, dan tidak pernah tersambung dengan kedua benuah tersebut. Sebab itu, hanya terdapat sedikit mamalia local di kepulauan Kei.
Ø  Sejarah kepulauan Kei.
Penduduk kepulauan Kei Hampir tidak memiliki catatan sejarah tertulis. Sebaliknya mereka memiliki Tom-Tad, yakni hikayat-hikayat lisan yang disertai dengan benda-benda warisan tertentu sebagai penjamin keontetikan hikayat itu. Sebagian besar hikayat ini dibumbui dongeng atau lambang-lambang, akan tetapi dianggap sepenuhnya benar secar harafiah oleh pribumi kepulauan ini pada umumya.
Menurut hikayat setempat, leluhur orang kei berasal dari Bal (bali) wilayah kerajaan Majapahit di kawasan barat nusantara. Konon dua perahu utama berlayar dari pulau Bali, masing-masing dinahkodai oleh Hala’ai Deu dan Hala..ai Jangra. Setibahnya di kepulauan kei, dua peahu ini berpisah. Perahu rombongan Jangra menepi di Desa Ler-oholim di pulau Kei besar, dan perahu rombongn Deu berlabuh untuk pertamanya berlabu di Desa Letvuan di pulau Kei kecil. Letvuan dijadikan sebagai pusat pemerintahan, tempat dikembangannya hukum Larvul Ngabal (darah merah dan Tombak Bali) atas gagasan putri Ditsakmas. Bukti hubunngan dengan Bali ini di Kei kecil mencakup beberapa benda warisan dan sebuah tempat berlabuh yang dinamakan Bal Sorbay (Bali-Surabaya), yakni tempat perahu keluarga kerajaan itu dulu berlabuh.
Hala”ai Jangra dan Hala”ai Deu adalah gelar, bukan nama asli. Nama asli mereka tidak lagi di ketahui. Sebagian pemuka adat Kei mengatakan bahwa nama asli Hala”ai Deu adalah Esdeu, ada yang mengatakan Kasdeu, adapulah yang mengatakan Sadeu, atau Sadewa, atapun Dewa. Selaian Bali,oorang Kei asal leluhur mereka menccakup sumbau (pulau Sumbawa), vutun (Buton), Seran Ngoran (pulau Seram) dan Gorom di Maluku Tenggah, serta Dal Ternat (Jailolo dan ternate).
1.        Bahasa.
Ada tiga bahasa rumpun Austronesia yang dipertuturkan dikepulauan Kei ; bahasa kei (veve evav) adalah yang paling luas pemakaiannya, yakni 207 desa di Kei kecil, kei besar, dan pulau-pulau sekitarnya. Penduduk pulau kuur dan kamear menggunakan bahasa Kur (veveu kuur) dalam percakapan sehari-hari, bahasa Kei mereka gunakan sebagai lingua  Franca. Bahasa Banda  (veveu Wadan) di gunakan di desa Banda Eli (Wadan el) dan Banda Elat (wadan elat) di bagian barat dan timur laut pulau kei besar. Para prngguna bahasa Banda berasal dari kepulauan banda, tempat bahasa ini tidak lagi dugunaakan. Bahasa Kei tidak memiliki system bahasa sendiri. Para misionaris katolik dari negeri Nederland (Belanda) menuliskan kata-kata bahasa kai dengan suatu bentuk Variasi pengguna abjad romawi.

2.      Seni Budaya

v  Alat music
§  Savarngil (suling) : seruling keci local sepanjang 4 sampai 8 inci, terbuka dikedua ujug, memiliki enam lubang tempat jari, terbuat dari bambu dan tanpa kunci nada.
§  Tiva (gendang) : terdiri atas selebar membran yang terbuat dari kulit sapi yang direntangkan erat-erat menutupi salah satu ujung dari sebuah wadah yang berlubang.
§  Dada (gong) : alat music tabuh dengan jari-jari 12 -15 inci, terbuat dari tembaga atau besi dengan tonjolan di bagan tengah.
   
Gambarr. 1.2. Alat-alat msuik tradisonal dari kepulauan kei
v  Tarian
§  Sosoi temar rubil (tarian perang) yang penuh semangat hanya ditarikan oleh kaum pria.
§  Sosoi kibas (tari kipas) tarian yang penuh lembut dan hanya ditarikan oleh kaum wanita.
§  Sosoi Sawat (tari pergaulan) dan sosoi Yarit ; gerakan-gerakan yang tidak terlampau, lembut maupun beringas hanya terdapat di kedua tarian ini, oleh karena  itu dapat ditarikan oleh kaum pria maupun wanita.
§  Sosoi snar man-vuun.
Penari wanita di kepuluan kei juga menggunakan kipas, Yerikh (daun lontar yang dikeringkan), dan penari priah dapat menggunakan panah, parang Tombak dan juga bulu Kasuari dan diikatkan pada ujung tongkat berukuran kurang lebih 10 cm.
Gambar. 1.4.   tari sosoi kibas
 
Gambar. 1.3.   tari sosoi tamar rubil
 
 
                                                                                                
3.      Adat Istiadat
Kearifan lokal adalah sebuah budaya daerah setempat yang unik dan hanya terdapat dalam wilayah tersebut. Tidak ada yang tahu siapa yang memulainya dan tidak ada pula catatan sejarahnya. Masyarakat setempat mengetahuinya sebagai adat budaya yang turun temurun dan selalu ditaati hingga saat ini. Kearifan lokal menjadi penting karena sifatnya yang ekslusif dan membumi. Seluruh masyarakat setempat mempercayainya, jika ada yang melanggar mereka percaya akan terjadi sesuatu yang menimpanya. Begitu juga di Pulau Kei besar dan Kei Kecil. Kepulauan tempat bercokolnya kabupaten Maluku tenggara ini memiliki adat budaya lokal dengan nama “SASI” dan Maren (gotong royong warga).
a.      Adat Sasi
Gambar. 1.5.   Hawear (sasi)
 

Hawear sebagai satu bentuk hukum adat yang lahir, tumbuh dan hidup dalam masyarakat Kei merupakan satu kekayaan budaya yang telah ada sejak turun temurun haruslah dilestarikan dan dijaga dengan baik. Ada berbagai cara melestarikan kekayaan budaya yang dimaksudkan seperti melalui cerita-cerita rakyat atau lagu rakyat (folk story and folk songs), tetapi juga dapat dilakukan melalui berbagai dokumen tertulis seperti yang dilakukan saat ini. Sasi ditandai dengan pemasangan daun kelapa muda (janur) di tempat yang dikenakan Sasi. Artinya terlarang bagi siapapun yang akan beraktifitas di tempat tersebut. Setiap larangan yang termuat pada Sasi, memiliki jangka waktu tertentu, sehingga bermanfaat bagi lingkungan. Manfaat dari Sasi Laut misalnya adalah supaya tetap terjaga keberlangsungan hidup ikan di teluk. Sasi ladang membuat membuat hasil panen maksimal, karena belum boleh dipetik sebelum masa panen. Akan tetapi makna Sasi mengalami pergeseran seiring dengan gerusan budaya luar dan kepemilikan asset adat (tanah, ladang, atau pulau) yang berpindah kepemilikan.
Saat ini Sasi yang muncul di masyarakat seperti terarah pada kepentingan oknum tertentu untuk memperoleh keuntungan sepihak. Sebagai contoh pembebasan tanah adat oleh pemerintah, maka seluruh anggota marga (keluarga besar) harus menyetujuinya, jika belum ada kesepakatan atau masih ada anggota marga yang belum setuju, maka tanah belum dapat digunakan sampai seluruh anggota marga setuju. Jika tetap dilakukan pembangunan di tanah tersebut, maka anggota marga dapat mengenakan Sasi. Sebagai contoh kasus Suku Dinas pendidikan Kabupaten Maluku Tenggara, saat ini terbengkalai terkena Sasi. Tanah di pulau kei masih banyak yang dimiliki atas nama marga, bukan pribadi. Untuk penggunaan lahan, keluarga pemilik marga tersebut bisa memanfaatkannya untuk bercocok tanam, rumah, bangunan, dan sebagainya. Akan tetapi, anggota marga tidak memiliki hak untuk menjualnya. Jika sampai ada yang menjual, maka keluarga lain dapat mengenakan Sasi. Tanah milik marga yang akan digunakan oleh pihak lain (seperti Pendatang, Marga lain, maupun pemerintah) harus melalui upacara pelepasan tanah. Budaya pelepasan tanah ini biasanya dipimpin oleh raja adat setempat. Tanah marga dijual atas dasar kesepakatan seluruh warga di dalam marga. Pada musyawarah pelepasan tersebut terdapat upacara pelepasan tanah adat. Jika belum ada kesepakatan, maka upacara adat pelepasan tanah tidak dilakukan.
Saat ini, kemunculan Sasi akibat kepentingan oknum-oknum seolah mengesampaingkannya dari kearifan lokal, tetapi lebih menjadikan adat Sasi sebagai alat untuk melancarkan apa yang diinginkan. Sasi dari individu-individu yang mengganggu kepentingan umum, semakin hari semakin mengganggu kegiatan masyarakat. Sasi jembatan dan Jalan sehingga masyarakat tidak boleh lewat, Sasi Gedung Pemerintah, sehingga pelayanan pada masyarakat tidak bisa dilakukan di gedung tersebut (contoh Suku Dinas Maluku Tenggara). Kekuatan masyarakat setempat dalam Sasi tertuang dalam budaya gotong royong yang disebut Maren.

4.      Budaya Maren
Gotong royong merupakan budaya sebagian besar masyarakat seluruh Indonesia, tak terkecuali di Maluku Tenggara dan Kepulauan Kei. Budaya gotong royong di wilayah ini disebut Maren. Maren dilakukan ketika membangun jalan desa, ada keluarga atau tetangga yang membangun rumah, membuat fasilitas umum, dan sebagainya. Masyarakat setempat gotong royong bahu membahu menyelesaikan pekerjaan untuk kepentingan umum. Di beberapa desa, budaya ini ada yang dilakukan secara rutin, satu bulan sekali bersih desa dalam satu Ohoi. Ohoi adalah sebutan lingkungan yang dipimpin oleh raja adat. Maren dilakukan di dalam desa, dusun, dan Ohoi.

5.      Kasta
Warga Pulau Kei Besar, Kei Kecil, dan kepulauan Dullah yang terkenal dengan watak keras, terbagi pada 3 kasta. Kasta tertinggi disebut Mel Mel, kasta tengah disebut Ren, dan kasta bawah disebut Riri. Sampai saat ini, pembagian kasta masih ada. Dampaknya, apabila kasta riri dan Ren menjadi pejabat, banyak yang tidak menghargainya. Menurut informasi masyarakat setempat kasta terendah tidak akan pernah bisa naik tingkat menjadi Ren, maupun Mel Mel. Status Pemerintahan Desa/Kelurahan hanya sebatas administrasi pemerintahan saja, dianggap tidak memiliki berwenang menanngani masalah adat. Desa atau disebut Ohoi memiliki batas kewenangan setingkat administrasi desa, sedangkan raja memiliki kewenanngan atas beberapa desa. Jika masalah adat tidak mampu ditangani raja, maka naik ke atas yaitu Pati.
Konflik antar adat dan pemerintah memang kerap muncul. Masyarakat yang sangat menjunjung tinggi adat, memaksa pemerintah untuk fleksibel dalam menangani berbagai konflik yang bergesekan langsung dengan masyarakat. Secara umum masyarakat pulau kei berwatak keras, tetapi berhati mulia. Selama tidak mengganggu kepentingan mereka yang utama yaitu Wanita dan Tanah, pendatang tetap diterima dengan baik. Mungkin tepat dengan kata mutiara “di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung”. `           

6.      Makanan khas

Jika anda berkunjuk di kepulauan kei, terdapat salah satu makanan pokok yang di konsumsi masyarakat setempat sebagai pengganti karbonhidrat. Bukan sagu atau papeda yang telah biasa kita dengar sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia bagian Timur, makanan pokok ini disebut enbal. Enbal adalah sejenis makanan umbi-umbian berupa singkong yang beracun. Enbal atau singkong beracun ini memilki kandungan Hcn yang tinggi, sehingga rasanya pahit dan jika tidak diolah dengan benar biasa membuat orang yang mengkonsumsinya mabuk. Walaupun demikian, masyarakat di Maluku Tenggara gemar mengkonsumsinya dan menjadikan enbal sebagai makanan pokok pengganti nasi, namun tetap harus melalui proses yang panjang dan rumit terlebih dahulu sebelum mengkonsumsi.
Untuk menghilangkan kadar racunnya, enbal harus diparut menggunakan parutan tradisonal dan kemudian diperas menggunakan kain hingga kadar airnya hilang. Setelah aman dari racun, enbal disaring menggunakan ayakan tradisonal hingga halus. Baru kemudian enbal dapat diolah menjadi makanan lain, bahkan bias diolah menjadi biskuat dan waffle.


Gambar. 1.6.  enbal
 
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENJELASAN TENTANG RETREAT

TATA IBADAH PERSEKUTUAN PEMUDA GEREJA PROTESTAN INDONESIA DI PAPUA

PROPOSAL BANTUAN STUDI AKHIR